SELAMAT DATANG DI RUMAH PERGERAKAN MAHASISWA ISLAM INDONESIA (PMII) CABANG LOMBOK TIMUR

Senin, 19 November 2007

Globalisasi dan Komersialisasi Nurani

Globalisasi dan Komersialisasi Nurani
oleh ; fathurrozikin
Mantan Ketua Umum PMII Cabang Lotim

Kata globalisasi sudah tidak asing didengar oleh masyarakat dari berbagai jenis kalangan umur. Kata ini sepertinya sudah akrab dan lumrah menggauli telinga karena begitu mudahnya menjumpai kata ini yang tercecer di mana-mana, di koran-koran, siaran tv, radio, tong sampah, kertas-kertas meja kantor. Kata ini sekali lagi sangat mudah ditemui dari ruang publik sampai ruang private kehidupan masyarakat.
Hampir setiap menjumpai kata ini (globalisasi) seakan mindset (pola pikir) kita digiring untuk memaknainya pada kemajuan teknologi informatika dan komunikasi berupa surat kabar, televisi, radio, komputer, internet serta alat-alat elektronik lainnya. Simbolitas pemaknaan yang demikian berbanding lurus dengan gejala-gejala perubahan sosial yang terjadi di tengah-tengah masyarakat yang ditandai dengan semakin mudah dan luasnya akses untuk mendapatkan alat-alat tersebut.
Secara sederhana, globalisasi dapat diartikan sebagai perubahan sosial, budaya, ekonomi serta politik yang dilahirkan oleh kedigdayaan kapitalisme global. Dimana dimensi ruang dan dimensi waktu semakin menyempit akibat mudahnya daya jangkau komunikasi dan mobilitas masyarakat. Sebagai misal, dengan hand phone manusia bisa berkomunikasi dari rentang jarak yang berjauhan, sehingga jarak yang demikian jauhnya seakan bukan sebagai penghambat untuk melakukan komunikasi. Akan halnya dengan alat transfortasi baik itu alat transfortasi darat (mobil, dan sepeda motor), alat transfortasi laut (kapal laut dan perahu mesin), dan alat transfortasi udara seperti pesawat terbang memiliki fungsi mobililisasi yang membuat ruang dan waktu semakin “mengecil”. Namun pada sisi yang beriringan, dimensi ruang dan dimensi waktu pun jaraknya dibuat semakin melebar di mana interaksi sosial dan pranata yang terdapat didalamnya tidak jarang terganggu. Tetangga dalam satu komplek tidak sedikit yang tidak saling tahu apalagi saling mengenal satu dengan yang lainnya. Tidak itu saja, pada komunitas sosial publik yang terkecil seperti kantin atau tempat-tempat angkringan sering ditemui individu-individu yang tidak aktif dalam menjalin berkomunikasi didalamnya, justru lebih asyik menikmati short message system (sms) dengan orang lain yang berada di tempat yang tidak diketahui dunianya.
Sedang dalam pranata ekonomi antara yang miskin dengan yang kaya semakin memunculkan disfarietas kesenjangan yang mencolok. Yang miskin, menjadi malu untuk berteman dengan yang kaya. Dan, yang kaya tidak begitu peduli dengan nasib yang miskin. Kedua-duanya saling mengabaikan satu sama lain. Tidak ada yang peduli, semuanya berjalan sendiri-sendiri. Normalitas kehidupan pun semakin menjauh. Betapa...!!!
Lebih dari itu, globalisasi sebagai laku tindak kapitalisme global telah menggiring masyarakat pada kepungan budaya materialistik, hedonistik, individual dan sangat konsumeris. Yang pada gilirannya budaya-budaya yang disajikan oleh arus globalisasi tersebut akan menggantikan nilai-nilai moral agama dan kearifan-kearifan lokal yang selama ini membentengi masyarakat. Budaya-budaya yang disajikan oleh globalisasi ini begitu mudahnya menjadi prilaku sosial masyarakat dikarenakan oleh modus kerja dari kapitalisme yang bak candu. Membius dan melenakan serta membuat perasaan senang bagi korbannya, sehingga tanpa sadar korban yang dihampirinya terus terseret semakin jauh tanpa pernah terhenti. Cara kerja ini bisa dilihat dalam fenomena sosial masyarakat kita yang sedang bergerak maju. Mulai dari dari menu-menu sajian yang ditayangkan oleh media televisi serta informasi-informasi yang ditampilkan. Arus mode (fashion) yang trend disetiap waktu dan selalu berganti-ganti. Kesemuanya adalah contoh kecil yang kemudian memaksa menjerat masyarakat semakin berwatak konsumeris. Alhasil, dari budaya tersebut adalah lahirnya manusia atau mesin tanpa nurani.
Lahirnya manusia-manusia tipe ini -dengan nada yang agak pesimis – akan membawa bumi ini pada kondisi yang sangat komersil. Di mana kualitas dan kebaikan seseorang hanya diukur dari ketampanan atau kecantikan paras dan kekayaan materialnya semata.
Pertanyaannya kemudian adalah: Sudah tidak mampukah nilai-nilai moral agama dan kearifan-kearifan lokal ini untuk membentengi pranata sosial masyarakat lagi? Atau jangan-jangan bahwa nilai-nilai tersebut tidak sepenuhnya mendapatkan tempat untuk diinternalisasi dan dihayati oleh masyarakat. Sehingga secara terus menerus nilai-nilai itu semakin tergerus dan pada akhirnya punah?
Dari pertanyaan di atas tadi, ada baiknya jikalau kita sedikit mengaca tentang hakikat manusia1. Ali Syari’ati dalam penelitiannya, mengklasifikasikan manusia yang terdiri atas: (a). Basyar, adalah makhluk tertentu yang terdiri dari karakteristik fisiologis. Biologis dan psikologis yang dimilki oleh seluruh manusia, tak peduli apakah mereka itu berkulit hitam, berkulit putih, berkulit warna atau berkulit kuning, bangsa Barat, beragama atau tidak; ia didasarkan pada atas hukum-hukum fisik yang ditemukan oleh kedokteran, fisiologi dan psikologi dan lain-lainnya. Pendasaran klasufukasi ini merujuk pada al-Qur’an (18:110), “saya hanyalah seorang basyar seperti kamu”. (b). Sementara itu, manusia dalam pengertian yang lain, terdiri dari kebenaran menjadi insan, yang mempunyai karakteristik-karakteristik yang luar biasa, yang bisa menyebabkan masing-masing anggota manusia mencapai tingkat kemanusiaan (insaniyat) tertentu. Kalasifikasi ini sesuai dengan al-Qur’an (17:11). Dengan demikian kita semua adalah basyar, tetapi tidak mesti insan. Jadi, di antara semua manusia ,setiap orang sebagaimana juga lainnya adalah basyar , tetapi ada juga beberapa yang telah mencapai insaniyat, dan sebagian lagi ada yang berproses menjadi insan, baik baru pada tigkatan sedikit atau pada tingkat yang mengagungkan.
Dari cuplikan pemikiran Syari’ati di atas, bahwa kehidupan saat ini dipenuhi dan dihuni oleh basyar. Yang mana laku tindak mereka tidak jarang menyerupai hewan atau binatang. Dalam kurun sejarah yang mereka ciptakan, sering terjadi pembantaian satu dengan yang lainnya, baik secara individu ataupun berkelompok tanpa motif yang cukup beralasan. Sebagai misal, Amerika membombardir Afganistan dan Irak dengan berdalih pemusnahan senjata nuklir, tetapi dengan alasan apapun dari aspek kemanusiaan, tindakan Amerika tidak bisa dibenarkan dengan melakukan pembantaian massal di dua negara tersebut. Tindakan Amerika beserta sekutunya itu, dalam bahasa Syari’ati adalah jenis basyar. Manusia tanpa hati nurani.
Manusia tanpa hati, akan menyerahkan dirinya pada penghambaan yang semu terhadap nafsu-nafsu keduniawian tanpa melibatkan dimensi transenden yang akan membimbingnya ke jalan yang lurus—al-shirath al-mustaqiim. Penghambaan ini, selanjutnya menuntun mereka untuk secara terus-menerus memenuhi kebutuhan yang bernilai profan. Dan ujungnya, tidak lain, akan membawa manusia kepada kesia-siaan. Garis pikiran ini, tidak bermaksud untuk bernegasi dengan dimensi transenden, melainkan bahwa Islam jauh sebelumnya telah merekomendasikan nilai tawassuth—keseimbangan—agar manusia tidak terjebak dan terpenjara oleh nafsu duniawi. Dan dengan demikian manusia dapat menggapai selamat melalui “proses menjadi” manusia seutuhnya.



Baca selengkapnya >>