SELAMAT DATANG DI RUMAH PERGERAKAN MAHASISWA ISLAM INDONESIA (PMII) CABANG LOMBOK TIMUR

Minggu, 27 Juli 2008

ONE-DAY WORKSHOP INTERNET & WEB BLOGGER


Pergerakan Mahasiswa Ilam Indonesia (PMII) Lotim & Mahasiswa Teknik Komputer dan jaringan (TKJ)Kab. Lotim. Ahad,tanggal 27 Juli 2008. dilaksanak IT TRAINING Centre di SMKN 1 Selong sebgai pusat ICT kab lombok timur. pada acara tersebut dihadiri dari kalangan guru, mahasiswa,siswa. Peserta yang mendaftar sangat banyak sekali tapi dibatasi oleh panitia sebab kapasitas laboraturium yang terbatas, sehingga banyak peserta yang bersabar.peserta yang diterima hanya 20 orang.dilihat dari antusias peserta membuktikan mereka interes pada teknologi dan tidak mau dikatakan Gatek ( aggap teknologi) tinggal bagaimana pemerintah terus berusaha memberikan pelayanan yang murah dalam bidang IT. sebab di lombok timur termasuk masih dalam kategori tarif mahal untuk ke warnet.
pada acara tersebut dihadiri oleh Koordinator ICT Kab.lotim Bapak Puji Lestari yang memberikan pemaparan terkait dengan keberadaan ICT dan melakukan tanya jawab dengan peserta sekitar satu jam setengah. kemudian dilanjutkan dengan pengelolaan informasi ( internet) disampaikan oleh Bapak Iqbal Sofyan, ST. Guru SMKN 1 Selong. selama dua jam. kemudian peserta break solat dan makan . setelah itu dilanjutkan dengan design web html disampaikan oleh koordinator d3tkj kab. lotim zulhandi Putrawan Guru SMKN 1 selong.peserta diberikan gambaran bagaimana cara pembuatan Web sederhana melalui html. dan terakhir design Web Blogger, disampaikan oleh ketua Media Dan Informasi Pergeraklan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII)Cab.Lotim Lalu Ainul Yaqin


Baca selengkapnya >>

Senin, 21 Juli 2008

IT Training Centre

Baca selengkapnya >>

Rabu, 02 Juli 2008

Garpu DuNia


Karya-karya tulis,
Akan kekal sepanjang masa,
Sementara penulisnya,
Hancur terkubur di bawah tanah.

Kata-kata di atas dikutip dari buku Kritik Hadis, karya Ali Mustafa Yaqub. Kata-kata tersebut benar adanya. Contoh sederhana, sampai saat ini, tulisan-tulisan Syekh Ibn Athaillah pada buku beliau Pencerah Kalbu, padahal beliau sudah wafat berabad-abad yang lampau. Masih banyak contoh-contoh lain karya para ulama terdahulu yang sampai sekarang masih menjadi referensi dan panduan umat. Sebut saja Hujjatul Islam Imam Ghazali, Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah dan muridnya Ibnul Qoyyim al Jauzy

Sesungguhnya apabila setiap anak Adam telah mati, terputuslah amalnya kecuali tiga: shodaqoh jariyah, atau ilmu yang bermanfaat, atau anak yang sholih yang senantiasa mendoakannya. Nah, setidaknya, menghasilkan tulisan masuk dalam kategori ilmu yang bermanfaat. Tulisan dapat menjadi semacam passive income (passive income merujuk kepada istilah yang digunakan Robert T Kiyosaki pada bukunya Cash Flow Quadrant. Istilah ini berarti penghasilan yang diperoleh tanpa harus bekerja, seperti deposito, eksadana dan lain-lain). Tatkala kita sudah tidak mampu beramal lagi, Allah masih mencatatkan pahala apabila tulisan kita masih menginspirasi orang lain untuk berbuat baik.


Baca selengkapnya >>

Sejarah Terbentuknya Kabupaten Lombok Timur

Sejarah Terbentuknya Kabupaten Lombok Timur
Pada masa penjajahan Belanda Pulau Lombok dan Bali dijadikan satu wilayah kekuasaan pemerintahan dengan status Karesidenan dengan ibukota Singaraja berdasarkan Staabtlad Nomor 123 Tahun 1882 kemudian berdasarkan Staatblad Nomor 181 tahun 1895 tanggal 31 Agustus 1895 Pulau Lombok ditetapkan sebagai daerah yang diperintah langsung oleh Hindia Belanda. Staatblad ini kemudian disempurnakan dengan Staatblad Nomor 185 Tahun 1895 dimana Lombok diberikan status “Afdeeling” dengan ibukota Ampenan. Dalam afdeeling ini Lombok dibagi menjadi dua Onder Afdeeling yaitu Onder Afdeeling Lombok Timur dengan ibukota Sisi’ (Labuhan Haji) dan Onder Afdeeling Lombok Barat dengan ibukota Mataram, masing-masing Onder Afdeeling diperintah oleh seorang Contreleur (Kontrolir).

Untuk Lombok Timur dibagi menjadi 7 wilayah kedistrikan yaitu Pringgabaya, Masbagik, Rarang, Kopang, Sakra, Praya dan Batukliang. Akibat pecahnya perang Gandor melawan Belanda tahun 1897 dibawah pimpinan Raden Wirasasih dan Mamiq Mustiasih maka pada tanggal 11 Maret 1898 ibukota Lombok Timur dipindahkan dari Sisi’ ke Selong. Selanjutnya dengan Staatblad Nomor 248 tahun 1898 diadakan perubahan kembali terhadap Afdeeling Lombok yang semula 2 menjadi 3 Onder Afdeeling yaitu Lombok Barat, Lombok Tengah dan Lombok Timur. Untuk Onder Afdeeling Lombok Timur terdiri dari 4 kedistrikan yaitu Rarang, Masbagik, Sakra dan Pringgabaya. Dalam perkembangan berikutnya dibagi lagi menjadi 5 distrik yaitu:
Rarang Barat dengan ibukota Sikur dipimpin oleh H. Kamaluddin
Rarang Timur dengan ibukota Selong dipimpin oleh Lalu Mesir
Masbagik dengan ibukota Masbagik dipimpin oleh H. Mustafa
Sakra dengan ibukota Sakra dipimpin oleh Mamiq Mustiarep
Pringgabaya dengan ibukota Pringgabaya dipimpin oleh L. Moersaid

Seiring dengan terbentuknya daerah Swatantra Tingkat I Nusa Tenggara Barat dengan Undang-Undang Nomor 54 Tahun 1958 maka dibentuk pula 6 (enam) Daerah Tingkat II dalam lingkungan Propinsi Daerah Tingkat I Nusa Tenggara Barat berdasarkan Undang-Undang Nomor 59 Tahun 1958. Secara yuridis formal maka daerah Swatantra Tingkat II Lombok Timur terbentuk pada tanggal 14 Agustus 1958 yaitu sejak di undangkannya Undang-Undang Nomor 64 Tahun 1958 dan Undang-Undang Nomor 69 Tahun 1958.

Pembentukan daerah Swatantra Tingkat II lombok Timur secara nyata dimulai dengan diangkatnya seorang Pejabat Sementara Kepala Daerah dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor UP.7/14/34/1958 tanggal 29 Oktober 1958 dan sebagai Pejabat Sementara Kepala Daerah ditetapkan Idris H.M. Djafar terhitung 1 Nopember 1958.

Setelah terbentuknya Daerah Swatantra Tingkat II Lombok Timur maka selambat-lambatnya dalam waktu 2 tahun PJS Kepala Daerah harus sudah membentuk Badan Legislatif (DPRD) yang akan memilih Kepala Daerah yang definitif. Dengan terbentuknya DPRD maka pada tanggal 29 Juli 1959 DPRD Lombok Timur berhasil memilih Anggota Dewan Pemerintah Daerah Peralihan yaitu Mamiq Djamilah, H.M. Yusi Muchsin Aminullah, Yakim, Abdul Hakim dan Ratmawa.

Dalam perkembangan berikutnya DPRD Daswati II Lombok Timur dengan keputusan Nomor 1/5/II/104/1960 tanggal 9 April 1960 mencalonkan dan mengusulkan L. Muslihin sebagai Kepala Daerah yang kemudian mendapat persetujuan pemerintah pusat dengan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor UP.7/12/41-1602 tanggal 2 Juli 1960. Dengan demikian L. Muslihin Bupati Kepala Daerah Lombok Timur yang pertama sebagai hasil pemilihan oleh DPRD Tingkat II Lombok Timur. Jabatan tersebut berakhir sampai 24 Nopember 1966.

Sejalan dengan pemerintahan di daerah maka berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I NTB tanggal 16 Mei 1965 Nomor 228/Pem.20/1/12 diadakan pemekaran dari 5 distrik menjadi 18 distrik (Kecamatan) yang membawahi 73 desa, yaitu Kecamatan Selong, Dasan Lekong, Tanjung, Suralaga, Rumbuk, Sakra, Keruak, Apitaik, Montong Betok, Sikur, Lendang Nangka, Kotaraja, Masbagik, Aikmel, Wanasaba, Pringgabaya, Sambelia dan Terara.

Dengan Surat Keputusan Mendagri Nomor UP.14/8/37-1702 tanggal 24 Nopember 1966 masa jabatan L. Muslihin berakhir dan diganti oleh Rahadi Tjipto Wardoyo sebagai pejabat Bupati sampai dengan 15 Agustus 1967. Selanjutnya dengan SK Mendagri Nomor UP.9/2/15-1138 tanggal 15 Agustus 1967 diangkatlah R.Roesdi menjadi Bupati Kepala Daerah Tingkat II Lombok Timur yang definitif. Pada masa pemerintahan R. Roesdi dibentuk alat-alat kelengkapan Pemerintah Daerah yaitu Badan Pemerintah Harian dengan anggota H.L.Moh. Imran, BA, Mustafa, Hasan, L. Fihir dan Moh. Amin.

Pada periode ini atas pertimbangan efisiensi dan rentang kendali pengawasan serta terbatasnya sarana dan prasarana maupun personil diadakanlah penyederhanaan kecamatan dari 18 menjadi 10 kecamatan yaitu Kecamatan Selong, Sukamulia, Sakra, Keruak, Terara, Sikur, Masbagik, Aikmel, Pringgabaya dan Sambelia.

Berdasarkan SK Menteri Dalam Negeri Nomor Pemda/7/18/15-470 tanggal 10 Nopember 1973 masa jabatan R. Roesdi selaku Bupati KDH Tingkat II Lombok Timur diperpanjang. Kemudian dengan berlakunya UU Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintah di Daerah, kedudukan Bupati dipertegas sebagai penguasa tunggal di daerah sekaligus sebagai administrator pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan. Pada periode ini dibentuk Sekretariat Wilayah/Daerah sebagai pelaksana UU Nomor 5 tahun 1974. Pemerintah kecamatan pada masa ini masih tetap 10 kecamatan sedangkan desa berjumlah 96 dengan rincian desa swakarsa 91, swadaya 2 dan swasembada 3 desa. Jumlah dinas 6 buah yaitu Dinas Pertanian Rakyat, Perikanan, Perkebunan, Kesehatan, PU dan Dispenda sedangkan instansi vertikal 19 buah.

Perkembangan selanjutnya yaitu pada periode 1979-1988 Bupati KDH Tingkat II Lombok Timur dijabat oleh Saparwadi yang ditetapkan melalui SK Menteri Dalam Negeri Nomor Pem.7/4/31 tanggal 7 Februari 1979, jabatan ini dipangku selama 2 periode namun berakhir sebelum waktunya karena meninggal dunia 13 Maret 1987. Pada periode ini terjadi pergantian Sekwilda dari Moh. Amin kepada Drs. L. Djafar Suryadi. Oleh karena meninggalnya Saparwadi maka oleh Gubernur NTB Gatot Suherman menunjuk Sekwilda H. L. Djafar Surayadi sebagai Pelaksana Tugas Bupati Lombok Timur dengan SK Nomor 314 tahun 1987 tanggal 21 Desember 1987.

Kemudian dengan keputusan DPRD Nomor 033/SK.DPRD/6/1988, DPRD berhasil memilih calon Bupati Kepala Daerah yaitu Abdul Kadir dengan 36 suara, H.L.Ratmawa 5 suara dan Drs. H. Abdul Hakim 4 suara, dengan demikian maka Abdul Kadir berhak menduduki jabatan sebagai Bupati Lombok Timur sesuai SK Mendagri Nomor 131.62-556 tanggal 13 Juli 1988, jabatan ini berakhir sampai tahun 1993. Pada tahun 1989 terjadi pergantian Sekwilda dari Drs. Djafar Suryadi kepada Drs. H. L. Fikri yang dilantik 23 Nopember 1989.

Periode berikutnya tahun 1993-1998 Bupati Lombok Timur dijabat Moch. Sadir yang ditetapkan dengan SK Menteri Dalam Negeri Nomor 131.61-608 tanggal 3 Juli 1993 dan dilantik 28 Juli 1993. Pada masa kepemimpinan nya dibangun Wisma Haji Selong, Taman Kota Selong, Pintu Gerbang Selamat Datang serta Kolam Renang Tirta Karya Rinjani. Pada periode ini H.L. Fikri selaku Sekwilda ditarik ke Propinsi untuk sementara menunggu Sekwilda yang definitif ditunjuklah Moch. Aminuddin,BA Ketua BAPPEDA saat itu sebagai Pelaksana Tugas Sekwilda sampai dengan dilantiknya H. Syahdan, SH.,SIP. sebagai Sekwilda definif berdasarkan SK Menteri Dalam Negeri Nomor 862.212.2-576 tanggal 8 Februari 1996.

Ditengah situasi negara yang sedang dilanda berbagai krisis dan berhembusnya era reformasi yang ditandai berhentinya Soeharto sebagai Presiden RI pada bulan Mei 1998, bulan Agustus 1998 DPRD Dati II Lotim berdasarkan hasil Pemilu 1997 megadakan pemilihan Bupati Lombok Timur masa bakti 1999-2003. Tiga calon Bupati saat itu adalah H. Moch. Ali Bin Dachlan, SH,Achman Muzahar, SH dan H. Syahdan, SH.,SIP. Dalam pemilihan itu H. Syahdan, SH.,SIP. terpilih sebagai Bupati dengan memperoleh suara 23, H. Moch. Ali Bin Dachlan, SH, meperoleh 21 suara sedangkan Achman Muzahar, SH tidak mendapat suara.

Pada kepemimpinan H. Syahdan, SH jabatan Sekretaris Daerah (Sekda) dijabat oleh H. L. Kamaluddin, SH yang dilantik berdasarkan SK Menteri Dalam Negeri Nomor 862.212.2-2145 tanggal 26 Mei 1999. Sebagai dampak bergulirnya era reformasi pada tahun 1999 dilaksanakan pemilihan umum diseluruh Indonesia termasuk di Kabupaten Lombok Timur yang diikuti banyak partai politik. Dari hasil Pemilu 1999 di Lombok Timur berhasil membentuk DPRD periode 1999-2004. Pada periode ini berlangsung suksesi kepemimpinan Bupati Lombok Timur. DPRD berhasil menetapkan 5 pasangan calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah. Pada pemilihan yang berlangsung sangat demokratis ini berhasil terpilih H. Moh. Ali Bin Dachlan sebagai Bupati Lombok Timur dan H. Rachmat Suhardi, SH sebagai Wakil Bupati Lombok Timur untuk masa bakti 2003-2008. Pasangan Kepala Daerah dan wakil Kepala Daerah ini dilantik oleh Gubernur Nusa Tenggara Barat berdasarkan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor : 131.62-462 Tahun 2003 dan Nomor: 132.62-463 Tahun 2003 tertanggal 27 Agustus 2003.

Tahun 2004 berlangsung pemilihan umum anggota DPR/DPD, DPRD I, DPRD II, termasuk Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Untuk Kabupaten Lombok Timur berhasil terbentuk DPRD Periode 2004-2009 dan dilantik pada tanggal 5 Agustus 2004, sedangkan Pimpinan DPRD dilantik pada tanggal 18 Mei 2005 dengan Ketua H. M. Syamsul Luthfi, SE, Wakil Ketua TGH. Nasruddin dan H. Syamsuddin Gahtan. Pada tahun 2006 berlangsung pergantian jabatan Sekretaris Daerah dari H. L. Kamaluddin, SH kepada penggantinya L. Nirwan, SH.


Baca selengkapnya >>

Masa Depan Demokrasi Lokal (Lombok Timur)


WACANA pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung akhir-akhir ini ramai dibicarakan oleh berbagai kalangan. Menguatnya wacana tersebut dibarengi dengan menghangatnya suhu politik di berbagai daerah. Ini merupakan perkembangan yang menarik dalam sejarah perpolitikan di negeri ini, mengingat pilkada secara langsung merupakan hal yang baru bagi sejarah politik di republik ini.

Di satu sisi, perubahan sistem politik ini patut kita sambut dengan penuh rasa optimisme, karena dengan mekanisme pemilihan secara langsung ini partisipasi politik rakyat menjadi sangat penting artinya dan akan betul-betul menjadi penentu proses demokratisasi baik di tingkat lokal, regional, maupun nasional.

Tapi di sisi lain, perkembangan baru ini harus benar-benar kita cermati secara kritis. Karena momentum ini merupakan momentum peletakan dasar bagi fondasi sistem politik dan demokrasi pada aras lokal.

Dilihat dari antusiasme masyarakat dalam mengapresiasi wacana pilkada secara langsung ini, menunjukkan perkembangan yang sangat menggembirakan. Karena, hampir setiap elemen masyarakat menyambut positif pelaksanaan pemilihan secara langsung ini. Setidaknya ini menunjukkan tingkat kesiapan masyarakat dalam menyongsong pelaksanaan pilkada.

Akan tetapi antusiasme ini bukan merupakan jaminan terselenggaranya momentum politik daerah berjalan secara demokratis dan mencerminkan aspirasi masyarakat. Mengingat, dalam UU No 32 Tahun 2004 partai politik masih mempunyai peran sangat dominan karena mekanisme pencalonan kepala daerah hanya diatur melalui satu pintu, yakni partai politik. Akibatnya calon-calon independen yang mempunyai akseptabilitas dan kredibilitas tidak mempunyai peluang untuk maju.

Ketentuan ini menjadi salah satu titik krusial yang harus dicermati secara kritis. Karena, dominasi peran partai ini akan membuka peluang kemungkinan terjadinya ''politik dagang sapi'' di satu sisi dan suburnya money politics di sisi lain seperti yang terjadi selama ini. Disamping itu, kemungkinan partai akan sekehendak hati dalam merekrut dan menentukan calon tanpa melibatkan aspirasi dan partisipasi konstituennya serta masyarakat umum, juga sangat besar.

Jika hal ini terjadi maka bukan saja mencederai demokrasi, melainkan juga merupakan kemunduran bagi proses demokratisasi. Karena secara esensial sistem baru ini tidak ada bedanya dengan sistem politik di masa lalu, ibarat pameo ''lagu lama kaset baru''.

Padahal sasaran ideal dari produk UU ini adalah adanya partisipasi politik secara aktif dari rakyat dalam menentukan pejabat-pejabat publik di daerah. Sehingga kepala daerah yang terpilih benar-benar mencerminkan aspirasi rakyat dan mempunyai legitimasi yang kuat karena mendapat dukungan secara langsung.

Proses Pembelajaran

Momentum pilkada secara langsung adalah merupakan proses pembelajaran politik masyarakat di daerah. Konteks pembelajaran politik ini meliputi beberapa hal.

Pertama, pilkada secara langsung menuntut kesiapan rakyat untuk bisa mengartikulasikan kepentingan-kepentingannya, sehingga bentuk sikap politiknya merupakan cerminan dari kebutuhan yang ingin diwujudkannya. Dengan cara demikian maka kedaulatan rakyat akan betul-betul terwujud.

Kedua, rakyat mempunyai kedaulatan penuh untuk mendefinisikan pilihan politiknya terhadap figur calon yang ada. Dari situ mereka akan mempunyai kemandirian untuk menentukan pilihan sesuai dengan hati nuraninya, sehingga kualitas partisipasinya dapat dipertanggungjawabkan. Kemandirian ini dengan sendirinya juga mengeliminasi adanya potensi-potensi mobilisasi yang dilakukan oleh partai-partai politik.

Ketiga, rakyat juga dituntut kedewasaan politiknya. Mereka harus siap secara mental untuk menerima perbedaan pilihan politik di antara mereka sendiri. Meskipun mereka telah membuktikan kedewasaannya dalam mengikuti pemilihan presiden secara langsung yang berjalan dengan tertib, aman, dan demokratis.

Namun yang perlu diingat, dalam pilkada secara langsung jarak emosi antara figur calon dan massa pemilihnya sangat dekat. Hal ini akan memicu lahirnya fanatisme yang sangat kuat terhadap masing-masing calon.

Selain itu, masyarakat juga merasakan kepentingannya secara riil pada aras lokal. Akibatnya kadar dan rasa kepemilikan (sense of belongingness) serta keterlibatannya terhadap agenda-agenda masing-masing calon sangat tinggi. Faktor-faktor tersebut dikhawatirkan dapat menjadi pemicu terjadinya konflik horizontal.

Kecenderungan munculnya tingkat fanatisme yang berlebihan terhadap salah satu calon sangat kuat, mengingat kultur paternalisme masih dominan dalam masyarakat. Kecenderungan ini bisa kita lihat dari sikap politik yang lebih mengedepankan figur daripada visi, misi, dan program yang ditawarkan.

Dalam pandangan Emmerson (2001), karakteristik sistem politik Indonesia masih didominasi oleh budaya paternalistik. Tandanya, disamping adanya hubungan negara-rakyat yang dikemas dalam hubungan kawula-gusti, juga hubungan antarelite yang disusun berdasarkan logika perkawanan yang kental.

Kenyataan tersebut disamping kontraproduktif dengan nilai-nilai demokrasi juga mereduksi sasaran ideal dari produk UU No 32 Tahun 2004, yakni adanya proses penguatan demokrasi di tingkat lokal, sehingga kesadaran politik masyarakat menjadi bias. Bias, karena mereka sudah tidak berdaya lagi untuk membedakan antara suara hati nurani dan politik perkawanan. Sedangkan keinginan ideal dari partisipasi politiknya adalah terwujudnya kemandirian sikap politik.

Dalam kondisi yang sedemikian rupa maka mereka akan kehilangan rasionalitasnya dalam menentukan pilihan. Pertimbangan rasional menjadi nihil dan tereduksi oleh munculnya faktor-faktor emosional. Solidaritas yang muncul dengan dasar pijakan kedekatan emosi biasanya akan mengubur kadar kritisisme di masing-masing individu.

Penguatan Demokrasi

Di tengah sistem dan kultur politik yang bersifat paternalistik, maka proses pilkada langsung tidak dapat menjadi jaminan bagi perubahan kualitas demokrasi.

Masa depan demokrasi di tingkat lokal boleh jadi tidak akan mengalami perubahan. Karena demokrasi disamping ditentukan oleh seberapa besar partisipasi masyarakat juga kualitas partisipasi itu sendiri dalam menentukan pejabat pemerintah baik di tingkat lokal, regional, maupun nasional.

Semakin besar dan baik kualitas partisipasi masyarakat, maka kelangsungan demokrasi akan semakin baik pula. Demikian juga sebaliknya, semakin kecil dan rendahnya kualitas partisipasi masyarakat maka semakin rendah kadar demokrasinya.

Kadar kualitas partisipasi politik masyarakat dapat dilihat dari sejauh mana tingkat otonomi dalam menentukan sikapnya. Apakah karena pengaruh mobilisasi partai politik semata, faktor primordialisme atau karena rasionalitas dan hati nurani?

Kalau keberpihakan politiknya lahir dari pertimbangan-pertimbangan yang rasional, maka merupakan pertanda yang positif bagi perkembangan dan format demokrasi ke depan. Tetapi jika pilihan politik mereka karena pengaruh mobilisasi semata, masa depan demokrasi patut dipertanyakan.

Format demokrasi pada aras lokal meniscayakan adanya derajat kualitas partisipasi masyarakat yang baik. Keterlibatan mereka dalam momentum pilkada langsung menjadi landasan dasar bagi bangunan demokrasi. Bangunan demokrasi tidak akan kokoh manakala kualitas partisipasi masyarakat diabaikan. Karena itu, proses demokratisasi yang sejatinya menegakkan kedaulatan rakyat menjadi semu dan hanya menjadi ajang rekayasa bagi mesin-mesin politik tertentu.

Hukum demokrasi selalu menempatkan partisipasi masyarakat dalam posisi yang terdepan dan signifikan. Karenanya, antara masyarakat dan demokrasi terdapat makna yang komplementer dan simultan sekaligus, yakni agar bisa berjalan dengan baik maka demokrasi menuntut konsekuensi logis adanya partisipasi aktif dari masyarakat.

Penguatan demokrasi lokal tidak akan tercipta manakala masyarakat hanya dijadikan objek politik dan konstituen yang pasif. Hal ini perlu ditegaskan guna menegakkan makna demokrasi itu sendiri. Dengan cara ini demokrasi akan lebih cepat meresap ke bawah dan dapat dirasakan secara konkret oleh masyarakat yang secara formal berada pada hierarkhi sistem politik yang paling rendah.

Selain itu juga akan mengikis demokrasi yang bersifat elitis dan menumbuhkan demokrasi yang berjalan secara egaliter, sehingga proses demokratisasi akan lebih mengakar dan terlembagakan secara horizontal di tengah masyarakat.




Baca selengkapnya >>