SELAMAT DATANG DI RUMAH PERGERAKAN MAHASISWA ISLAM INDONESIA (PMII) CABANG LOMBOK TIMUR

Rabu, 02 Juli 2008

Masa Depan Demokrasi Lokal (Lombok Timur)


WACANA pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung akhir-akhir ini ramai dibicarakan oleh berbagai kalangan. Menguatnya wacana tersebut dibarengi dengan menghangatnya suhu politik di berbagai daerah. Ini merupakan perkembangan yang menarik dalam sejarah perpolitikan di negeri ini, mengingat pilkada secara langsung merupakan hal yang baru bagi sejarah politik di republik ini.

Di satu sisi, perubahan sistem politik ini patut kita sambut dengan penuh rasa optimisme, karena dengan mekanisme pemilihan secara langsung ini partisipasi politik rakyat menjadi sangat penting artinya dan akan betul-betul menjadi penentu proses demokratisasi baik di tingkat lokal, regional, maupun nasional.

Tapi di sisi lain, perkembangan baru ini harus benar-benar kita cermati secara kritis. Karena momentum ini merupakan momentum peletakan dasar bagi fondasi sistem politik dan demokrasi pada aras lokal.

Dilihat dari antusiasme masyarakat dalam mengapresiasi wacana pilkada secara langsung ini, menunjukkan perkembangan yang sangat menggembirakan. Karena, hampir setiap elemen masyarakat menyambut positif pelaksanaan pemilihan secara langsung ini. Setidaknya ini menunjukkan tingkat kesiapan masyarakat dalam menyongsong pelaksanaan pilkada.

Akan tetapi antusiasme ini bukan merupakan jaminan terselenggaranya momentum politik daerah berjalan secara demokratis dan mencerminkan aspirasi masyarakat. Mengingat, dalam UU No 32 Tahun 2004 partai politik masih mempunyai peran sangat dominan karena mekanisme pencalonan kepala daerah hanya diatur melalui satu pintu, yakni partai politik. Akibatnya calon-calon independen yang mempunyai akseptabilitas dan kredibilitas tidak mempunyai peluang untuk maju.

Ketentuan ini menjadi salah satu titik krusial yang harus dicermati secara kritis. Karena, dominasi peran partai ini akan membuka peluang kemungkinan terjadinya ''politik dagang sapi'' di satu sisi dan suburnya money politics di sisi lain seperti yang terjadi selama ini. Disamping itu, kemungkinan partai akan sekehendak hati dalam merekrut dan menentukan calon tanpa melibatkan aspirasi dan partisipasi konstituennya serta masyarakat umum, juga sangat besar.

Jika hal ini terjadi maka bukan saja mencederai demokrasi, melainkan juga merupakan kemunduran bagi proses demokratisasi. Karena secara esensial sistem baru ini tidak ada bedanya dengan sistem politik di masa lalu, ibarat pameo ''lagu lama kaset baru''.

Padahal sasaran ideal dari produk UU ini adalah adanya partisipasi politik secara aktif dari rakyat dalam menentukan pejabat-pejabat publik di daerah. Sehingga kepala daerah yang terpilih benar-benar mencerminkan aspirasi rakyat dan mempunyai legitimasi yang kuat karena mendapat dukungan secara langsung.

Proses Pembelajaran

Momentum pilkada secara langsung adalah merupakan proses pembelajaran politik masyarakat di daerah. Konteks pembelajaran politik ini meliputi beberapa hal.

Pertama, pilkada secara langsung menuntut kesiapan rakyat untuk bisa mengartikulasikan kepentingan-kepentingannya, sehingga bentuk sikap politiknya merupakan cerminan dari kebutuhan yang ingin diwujudkannya. Dengan cara demikian maka kedaulatan rakyat akan betul-betul terwujud.

Kedua, rakyat mempunyai kedaulatan penuh untuk mendefinisikan pilihan politiknya terhadap figur calon yang ada. Dari situ mereka akan mempunyai kemandirian untuk menentukan pilihan sesuai dengan hati nuraninya, sehingga kualitas partisipasinya dapat dipertanggungjawabkan. Kemandirian ini dengan sendirinya juga mengeliminasi adanya potensi-potensi mobilisasi yang dilakukan oleh partai-partai politik.

Ketiga, rakyat juga dituntut kedewasaan politiknya. Mereka harus siap secara mental untuk menerima perbedaan pilihan politik di antara mereka sendiri. Meskipun mereka telah membuktikan kedewasaannya dalam mengikuti pemilihan presiden secara langsung yang berjalan dengan tertib, aman, dan demokratis.

Namun yang perlu diingat, dalam pilkada secara langsung jarak emosi antara figur calon dan massa pemilihnya sangat dekat. Hal ini akan memicu lahirnya fanatisme yang sangat kuat terhadap masing-masing calon.

Selain itu, masyarakat juga merasakan kepentingannya secara riil pada aras lokal. Akibatnya kadar dan rasa kepemilikan (sense of belongingness) serta keterlibatannya terhadap agenda-agenda masing-masing calon sangat tinggi. Faktor-faktor tersebut dikhawatirkan dapat menjadi pemicu terjadinya konflik horizontal.

Kecenderungan munculnya tingkat fanatisme yang berlebihan terhadap salah satu calon sangat kuat, mengingat kultur paternalisme masih dominan dalam masyarakat. Kecenderungan ini bisa kita lihat dari sikap politik yang lebih mengedepankan figur daripada visi, misi, dan program yang ditawarkan.

Dalam pandangan Emmerson (2001), karakteristik sistem politik Indonesia masih didominasi oleh budaya paternalistik. Tandanya, disamping adanya hubungan negara-rakyat yang dikemas dalam hubungan kawula-gusti, juga hubungan antarelite yang disusun berdasarkan logika perkawanan yang kental.

Kenyataan tersebut disamping kontraproduktif dengan nilai-nilai demokrasi juga mereduksi sasaran ideal dari produk UU No 32 Tahun 2004, yakni adanya proses penguatan demokrasi di tingkat lokal, sehingga kesadaran politik masyarakat menjadi bias. Bias, karena mereka sudah tidak berdaya lagi untuk membedakan antara suara hati nurani dan politik perkawanan. Sedangkan keinginan ideal dari partisipasi politiknya adalah terwujudnya kemandirian sikap politik.

Dalam kondisi yang sedemikian rupa maka mereka akan kehilangan rasionalitasnya dalam menentukan pilihan. Pertimbangan rasional menjadi nihil dan tereduksi oleh munculnya faktor-faktor emosional. Solidaritas yang muncul dengan dasar pijakan kedekatan emosi biasanya akan mengubur kadar kritisisme di masing-masing individu.

Penguatan Demokrasi

Di tengah sistem dan kultur politik yang bersifat paternalistik, maka proses pilkada langsung tidak dapat menjadi jaminan bagi perubahan kualitas demokrasi.

Masa depan demokrasi di tingkat lokal boleh jadi tidak akan mengalami perubahan. Karena demokrasi disamping ditentukan oleh seberapa besar partisipasi masyarakat juga kualitas partisipasi itu sendiri dalam menentukan pejabat pemerintah baik di tingkat lokal, regional, maupun nasional.

Semakin besar dan baik kualitas partisipasi masyarakat, maka kelangsungan demokrasi akan semakin baik pula. Demikian juga sebaliknya, semakin kecil dan rendahnya kualitas partisipasi masyarakat maka semakin rendah kadar demokrasinya.

Kadar kualitas partisipasi politik masyarakat dapat dilihat dari sejauh mana tingkat otonomi dalam menentukan sikapnya. Apakah karena pengaruh mobilisasi partai politik semata, faktor primordialisme atau karena rasionalitas dan hati nurani?

Kalau keberpihakan politiknya lahir dari pertimbangan-pertimbangan yang rasional, maka merupakan pertanda yang positif bagi perkembangan dan format demokrasi ke depan. Tetapi jika pilihan politik mereka karena pengaruh mobilisasi semata, masa depan demokrasi patut dipertanyakan.

Format demokrasi pada aras lokal meniscayakan adanya derajat kualitas partisipasi masyarakat yang baik. Keterlibatan mereka dalam momentum pilkada langsung menjadi landasan dasar bagi bangunan demokrasi. Bangunan demokrasi tidak akan kokoh manakala kualitas partisipasi masyarakat diabaikan. Karena itu, proses demokratisasi yang sejatinya menegakkan kedaulatan rakyat menjadi semu dan hanya menjadi ajang rekayasa bagi mesin-mesin politik tertentu.

Hukum demokrasi selalu menempatkan partisipasi masyarakat dalam posisi yang terdepan dan signifikan. Karenanya, antara masyarakat dan demokrasi terdapat makna yang komplementer dan simultan sekaligus, yakni agar bisa berjalan dengan baik maka demokrasi menuntut konsekuensi logis adanya partisipasi aktif dari masyarakat.

Penguatan demokrasi lokal tidak akan tercipta manakala masyarakat hanya dijadikan objek politik dan konstituen yang pasif. Hal ini perlu ditegaskan guna menegakkan makna demokrasi itu sendiri. Dengan cara ini demokrasi akan lebih cepat meresap ke bawah dan dapat dirasakan secara konkret oleh masyarakat yang secara formal berada pada hierarkhi sistem politik yang paling rendah.

Selain itu juga akan mengikis demokrasi yang bersifat elitis dan menumbuhkan demokrasi yang berjalan secara egaliter, sehingga proses demokratisasi akan lebih mengakar dan terlembagakan secara horizontal di tengah masyarakat.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar