SELAMAT DATANG DI RUMAH PERGERAKAN MAHASISWA ISLAM INDONESIA (PMII) CABANG LOMBOK TIMUR

Rabu, 04 Juni 2008

HUTAN INDONESIA SEMAKIN SEMPIT

Penyempitan kawasan hutan Indonesia terus terjadi seiring pengembangan area perkebunan, pertambangan dan pemekaran wilayah. Terbitnya PP 2/2008 adalah bukti ketidakseriusan pemerintah dalam menjaga kawasan hutan Indonesia.

Kondisi hutan Indonesia semakin parah. Telah terjadi konversi hutan secara besar-besaran di berbagai daerah. Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) mencatat, kini hanya 32 juta hektare (ha) hutan berada dalam kondisi baik dari total 109 juta ha kawasan hutan Indonesia. Sisanya, 77 juta ha tengah dalam kondisi kritis. Seiring dengan terjadinya konversi jutaan ha kawasan hutan, jelas akan mengancam lingkungan dan ketersediaan air.


Menyempitnya kawasan hutan tidak membuat proses alih fungsi semakin berkurang. Hampir semua daerah di Indonesia hanya memiliki sedikit saja hutan yang produktif. Misalnya, dari 12,6 juta ha luas daratan pulau Jawa, ia hanya memiliki 3,4 juta kawasan hutan. Sementara hanya 300 ribu ha hutan saja masuk dalam kategori baik.

Data Greenomics Indonesia tahun 2006-2008 menunjukkan, betapa hutan terus mengalami penyempitan baik dilakukan secara legal maupun illegal. Di provinsi Sumatera Utara terdapat sekitar 40 kasus perambahan kawasan hutan untuk perkebunan dan budi daya pertanian lainnya yang mencapai 195.000 ha. Di Provinsi Riau, sekita 143.000 ha telah berubah fungsi menjadi areal perkebunan dan budi daya pertanian lahan kering secara ilegal. Di Provinsi Aceh, 160.000 ha hutan lindung berubah menjadi areal perkebunan, lahan pertanian, semak belukar dan tanah terbuka.

Di Provinsi Kalimantan Barat, sedikitnya 286.000 ha hutan lindung telah berubah fungsi menjadi areal pertanian. Sementara di Provinsi Kalimantan Tengah, kawasan hutan lindung dan hutan produksi telah dialihfungsikan secara ilegal menjadi areal perkebunan seluas 225.000 ha.

Janji pemerintah untuk mengurangi proses konversi tidak terbukti. Hadirnya PP 2/2008 telah membuka peluang besar bagi semakin maraknya praktek alih fungsi kawasan. Saat ini, telah lahir lebih dari 500 perijinan kawasan alih fungsi seperti dijadikan lahan pertambangan, perkebunan dan pembangunan infrasruktur pemerintah.

Menurut direktur Walhi, Berry Nahdian Furqan, terbitnya PP 2/2008 tersebut menunjukkan inkonsistensi pemerintah. Padahal Presiden telah berkomitmen mengurangi laju pemanasan global dengan menyelamatkan hutan alam Indonesia yang tersisa.

Barangkali karena hutan bukanah dianggap sebagai penyumbang devisa besar bagi negara, sehingga pemerintah lebih hoby membangun gedung dan lahan pertambangan. Akibatnya, masyarakat menjadi kehilangan kemandirian. Inilah selanjutnya menjadikan proses pemiskinan masal. Sebaliknya, konversi hutan hanya menjadi kepentingan bagi segelintir orang. Di sisi lain akan berpeluang terjadinya korupsi yang lebih luas.

Sungguh alih fungsi hutan sangat tidak memberikan keuntungan bagi masyarakat lokal. Karena keberadaan kawasan hutan dan persawahan berkonstribusi besar terhadap hajat hidup manusia. ”Tidak heran jika terjadi kelangkaan pangan akibat penyempitan lahan persawahan. Juga, terjadi kelangkaan air karena berkurangnya hutan sebagai sumber air,” kata Berry Nahdian Furqan yang didampingi rekan kerjanya, Fadli, saat ditemui di kantornya di kawasan Mampang, Jakarta Selatan.

Pemekaran Wilayah

Konsekwensi dari pemekaran wilayah adalah penyediaan sarana dan prasarana pemerintahan. Hal ini tentunya membutuhkan lahan yang tidak sedikit. Dan tak jarang, kawasan hutan menjadi pilihan alternatif yang akhirnya, lagi-lagi terjadi konversi hutan.

Lebih dari itu, pemekaran wilayah tidak hanya membutuhkan lahan untuk pembangunan wilayah administratif. Tetapi akan berkembang kepada kebutuhan-kebutuhan lahan untuk pembangunan infrastruktur lainnya seperti pasar, sekolah, bahkan perkebunan dan pertambangan sebagai income daerah.

Oleh karena itu, semestinya pemerintah harus melakukan kajian mendalam sebelum memutuskan untuk melakukan pemekaran. Pemerintah harus mempertimbangkan ekosistem disekitarnya. ”Konversi kawasan hutan untuk sarana pemerintahan dapat dilakukan jika pemerintah telah tuntas dalam perencanaan di sektor ekologis dan jaminan pelayanan kepada masyarakat” terang Berry Nahdian Furqan.

Berry menambahkan, pemerintah juga harus membuat desain tata ruang wilayah yang tidak mengganggu kehidupan sosial masyarakat. Tetapi seringkali pembangunan wilayah tidak mengindahkan desain tata ruang wilayah yang telah dibuat berdasarkan hasil kajian itu. Tata ruang hanya dijadikan pajangan.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar